Minggu, 14 Oktober 2012

Meluruskan Perspektif Berbagai Akad dalam Bisnis Syariah

Dalam memahami bisnis syariah yang menyeluruh, ada baiknya kita mengetahui lebih mendalam tentang berbagai macam akad dalam bisnis syariah. 

Mengapa ?

Karena walaupun saat ini banyak sekali lembaga bisnis syariah yang sedang berkembang apalagi pada perbankan syariah, ternyata masih banyak sekali orang awam yang hanya sekedar tahu bahwa bisnis syariah adalah hanya sekedar bisnis yang ber-label-kan syariah namun dengan konteks yang sebenarnya adalah sama saja dengan bisnis konvensional. Dan yang paling mengejutkan adalah penilaian tersebut berlandaskan pada pengalaman masing-masing masyarakat yang pernah mencobanya sendiri.

Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi dalam Republika edisi Jum’at 23 Nopember 2007 dikolom berita Ekonomi Syariah, berdasarkan hasil wawancara dengan Antara, mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan mengenai praktik bank syariah di daerahnya. Orang nomor satu di Sumatera Barat ini menyatakan, "Bank Syariah kan tidak boleh mematok bunga, tapi kenyataannya justru itu terjadi” dan "Ini kan tidak konsisten namanya”. Kemudian ia menambahkan, “Mestinya dalam sistem syariah, risiko dan keuntungan ditanggung bersama,".

Dalam kasus diatas terlihat bahwa ternyata orang yang memiliki pengaruh pun ternyata masih memiliki perspektif yang sangat minim. Mungkin saja pengalaman yang ia miliki dengan bank syariah adalah perbedaan antara akad mudharabah dan murabahah.

seperti contoh yang ada dibawah ini :
Seorang laki-laki bernama Ahmad melakukan pinjaman ke bank konvensional untuk membeli sebuah mobil dengan harga Rp 100.000.000,  dengan bunga 10% per tahun. Maka cicilan perbulan yang harus dibayar oleh nasabah adalah Rp 9.166.667.

karena ia merasa kurang puas dengan bunga yang diberikan, maka ia memilih bank syariah sebagai alternatif lain pinjaman untuk membeli mobil tersebut, karena menurut pemahamannya bank syariah tidak akan mematok bunga seperti bank konvensional melainkan dengan sistem bagi hasil.

Namun setelah ia pegi ke bank tersebut, dan setelah ia hitung-hitung kembali ternyata bank syariah malah mematok terlebih dahulu hasil baginya dan hasilnya adalah sama seperti bank konvensional.

Padahal dalam kenyataannya, Di bank syariah ada banyak model pembiayaan. Ada pembiayaan yang menggunakan skema profit loss sharing (PLS - baik untung maupun kerugian menjadi tanggung jawab kedua pihak). Dimana dalam akad ini baik nasabah dan bank sama-sama memiliki hak dan tanggung jawab baik kalau perusahaan tersebut itu untung maupun dalam kondisi merugi. Akad yang biasa digunakan dikenal dengan Al-Mudharabah maupun Al-Musyarakah.

Selanjutnya pembiayaan dengan skema jual-beli, Akad yang biasa kita kenal adalah Al-Murabahah. Ada lagi pembiayaan dengan akad Al-Rahn (gadai), maupun Al-Ijarah (sewa - menyewa). Sebenarnya masih ada beberapa jenis lainnya.

Dalam contoh kasus Pak Ahmad, sebenarnya bank syariah melakukan pembiayaan dengan Akad Al Murabahah. Dimana mobil yang ingin dibeli Pak Ahmad sejumlah Rp. 100.000.000 itu dibayar ke penjual mobil melalui bank syariah untuk kemudian oleh bank syariah dijual kembali ke Pak Ahmad dengan nilai Rp 110.000.000, yang kemudian akan dibayar secara cicilan oleh Pak Ahmad.

Sehingga bila harga mobil sebesar Rp 110.000.000 di bagi 12 akan didapatkan cicilan yang nilainya hampir sama dengan meminjam uang Rp 100.000.000 dengan bunga 10% di bank konvensional.


kesalahan diatas tidak hanya terdapat pada pak Ahmad, tetapi bank juga memiliki kesahalan karena minimnya proses edukasi saat nasabah ingin mendapatkan pelayanan dari bank syariah.



Oleh karena itu, agar tidak terjadi kesalahan lagi seperti yang telah dipaparkan diatas, alangkah lebih baiknya bila kita memahami berbagai macam akad yang terdapat pada bisnis syariah.


1.  Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)
Al Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai  dengan kesepakatan.
Al Musyarakah dalam aplikasi lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk:
1.      Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
2.      Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.
2.  Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)
Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah adalah berbentuk:
  1. Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa;
  2. Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah”, adalah pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).
3.  Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)
Al Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (margin) sebagai tambahannya
Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
2.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
3.      Kontrak harus bebas dari riba;
4.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
5.      Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.
Aplikasi Al Murabahah pada Lembaga Keuangan Syariah adalah untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah adalah kontrak untuk sekali akad (one short deal), sehingga kurang tepat jika digunakan untuk pembiayaan modal kerja.
4.  Bai’ As Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam Paralel”.

5.  Bai’ Al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)
Transaksi Bai’ al Istishna  merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”

6.  Al Ijarah (Sewa/ Leasing)
Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (Ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah dapat pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada akhir periode penyewaan.
Dalam aplikasi, Al Ijarah dapat dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Lembaga Keuangan biasanya menggunakan Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli karena lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Lembaga Keuangan tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik saat leasing ataupun sesudahnya.

7.  Qard Al  Hasan (Pinjaman Kebajikan)
Qard adalah akad yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling Bantu-membantu dan bukan merupakan transaksi bisnis secara komersial.
Salah satu fungsi Lembaga Keuangan Syariah adalah ikut serta dalam kegiatan sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.
Qard al Hasan adalah produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa tambahan atas dana yang dipinjam.
Dengan demikian, dapat kita lihat, bahwa dalam sistem ekonomi syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Lembaga Keuangan yang berdasarkan ekonomi Konvensional, karena semata-mata hanya menggunakan akad pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar